Oleh : Lisa Tjut Ali
Allhamdulillah Allah masih
memberi umur panjang dan kesehatan untuk
melaksanakan Ramadhan yang ke 31 dalam hidup saya. Jika saat pertama belajar berpuasa saya masih bisa
merasakan kebersamaan berbuka dengan keluarga di tanah rencong. Kini saya malah
dapat merasakan suasana Ramadhan yang berbeda di perantauan. Sebenarnya ini
bukan yang pertama bagi saya berpuasa di
rantau, malah lima tahun yang lalu saya dan suami sudah hidup merantau di Kuala
lumpur. Berpuasa di Kuala lumpur tidak jauh berbeda dengan suasana berpuasa di
Aceh, selain tidak terlalu berbeda dari
segi perubahan waktu, penduduknya juga mayoritas muslim, sehingga kemeriahan bulan Ramadhan
begitu terasa, surau-surau hidup dengan tarawih, ceramah dan tadarus, buka
puasa bersama selalu di adakan di mesjid-mesjid, juadah-juadah berbuka pun
tersedia di sepanjang jalan, sehingga saya tidak merasa hidup dalam perantauan,
apalagi saya juga di kelilingi oleh jiran-jiran yang juga orang Indonesia.
Ramdahan
kali ini sangat berbeda dan spesial pengalamannya buat saya. Kenapa saya
katakan spesial? Ramadhan kali ini saya benar-benar di uji kesabaran dan
perjuangan berlipat ganda. Saya yang sudah terbiasa Ramadhan di negara tropis
yang memiliki waktu yang tetap, bulan puasa selalu termanja oleh juadah khas tanah rencong, suara beduk dan azan
selalu menjadi pengingat waktu sahur dan berbuka, namun kini saya harus mencoba
pengalaman baru berpuasa di negara empat musim, yang waktu selalu berubah ikut pergantian
musim. Musim dingin
malamnya sangat lama, baru pukul 4 sore sudah magrib.
Sebaliknya pada musim panas malamnya sangat singkat sementara siangnya sangat
lama, hampir pukul 10 malam masih terang.
Di Deutschland Ramadhan 2013
jatuh pada musim panas itu bertanda puasa kali ini merupakan puasa panjang
yaitu antara 18-19 jam. Imsakiyah di Duisburg,
sahur jam 03.06
malam dan buka puasa jam 09.49 malam lalu tarawih jam 11.57
malam. Singkatnya jarak antara waktu berbuka
dengan sahur, membuat kami sering kali tidak bersahur lagi, bukan karena tidak
masak namun kami masih kekenyangan. Selama disini untuk menu
sahur dan berbuka saya pun masak sendiri setiap hari, tentu saja makanan ala Eropa,
karena bahan baku yang tersedia hanya bahan-bahan makanan Eropa, ada juga kedai Asia, selain mahal juga tidak tersedia rempah Aceh secara lengkap,
jadi pilihan praktis tentu saja buat spagetti dan pizza, terutama bagi yang sudah
habis stok asam sunti, kemamah, plik u yang
pernah di bawa dari tanah rencong
Di Mesjid-mesjid Turki seperti Mesjid Ali, Mesjid
Hamzah Mulheim, Mesjid Merkez Duiburg biasanya
ada mengadakan buka puasa bersama.
Mengingat Jarak antara rumah dan mesjid pun sangat jauh, saya dan suami memilih
untuk tarawih berjamaah di rumah, selain takut faktor keamanan di jalan, juga
sangat susah transportasi dari rumah ke mesjid saat tengah malam. Lagipula kalau
tarawih di mejid takut tidak sempat sahur di rumah. Banyak
juga teman-teman di sini memilih untuk menjamak shalat Magrib dan Isya
lalu menyambungnya dengan shalat tarawih, hal itu dilakukan agar tidak mengantuk dan memiliki jadwal tidur
malam yang cukup. Saya dan suami lebih memilih melaksanakan shalat sesuai dengan
waktunya, agar tidak gantuk
dan memiliki jam tidur yang
cukup, maka kami memakai metode tidur potong-potong yaitu begitu selesai buka puasa dan shalat
magrib kami langsung tidur jam 11 sampai
dengan jam 1, lalu bangun shalat tarawih
dan sahur, baru tidur lagi setelah jam 3
lewat setelah shalat subuh. Nah tadarrus
kami lakukan pada pagi hari atau saat shalat zuhur. Dengan meteode seperti ini
Insyaallah saya dapat beribadah tepat waktu dan tidur malam tetap terjaga meski
hanya beberapa jam. Berpuasa di Jerman jangankan terdengar suara beduk atau serune,
suara azan pun tak ada, sebagai pengingat agar tidak ketelatan bangun sahur,
kami membuat alarm di handphone.
Allhamdulillah
muslim disini sangat kompak. Mereka
sangat semangat dan sabar dalam menjalankan ibadah, walau tidak banyak mesjid
dan letaknya jauh-jauh, tidak menyurutkan semangat mereka untuk beribadah, jalanan, bawah tangga, pustaka, halaman yang
berumput, bahkan beralaskan koran pun
jadi tempat shalat. Subhanallah saya begitu terharu melihat kekompakkan dan
semangat muslim disini.
Saya pribadi
sangat merasa betapa besar sekali kuasa Allah, memberi kekuatan dan kesehatan
walau musim panas, hanya makan sekali sehari, tidak cukup tidur malam namun
stamina tetap fit dan ibadah puasa, tarawih dan tadarrus dapat saya lakukan
sempurna seperti di tanah rencong.
Pengalaman ini menjadi spesial
bagi hidup saya, selain di uji oleh puasa panjang saya juga di uji harus menjaga
suami yang dirawat seminggu di rumah sakit. Ramadhan musim panas ini menjadi Ramadhan terindah
setelah Ramadhan pertama dalam hidup saya.
Saya begitu yakin, kekuatan dan semangat itu bermula dari hati. Keyakinan dan keteguhan
iman yang membuat segalanya terasa indah untuk di jalani, ketika banyak orang
yang pesimis merasa tidak mampu melalui puasa 19-20 jam, takut bermasalah
dengan tidur, takut kekurangan air, takut berdampak pada kesehatan. Insyaallah, saya mencoba menjalani ketetapan Allah, tetap yakin apa yang jadi ketetapan Allah
adalah yang terbaik, karena Allah tidak akan menguji sesuatu di luar kemampuan seorang hamba. Dan yang pasti setiap cobaan dari
Allah adalah untuk menguji tingkat keimanan dan ketakwaan hambanya, seberapa
mereka mampu bertahan dan sabar hingga sebuah surga menjadi janji bagi yang
mampu bertahan. Insyaallah
Ramadhan kali ini kita dapat mengapai Cinta-NYA dengan khusyuk dan ikhlas.
Semoga puasa dan segala amal ibadah kita di terima oleh
Allah SWT, Amin.
(* Catatan dan renungan