Coretan pena

Senin, 18 November 2013

Catatan Swiss : Musim luruh di Danau Zurich

                                                                                                        
                                                                                                    Oleh : Lisa Tjut Ali

                                                                                       



Daun-daun maple yang menguning mulai luruh perhelai hingga akhirnya menyelimuti tanah bak permadani. Hembusan angin menampar wajah, mengajak aliran darah menari-nari. Pertanda musim gugur akan berakhir, musim salju telah menanti dalam hitungan hari. 

Di akhir musim luruh kali ini, kami berlibur akhir pekan ke Zurich-Swiss. Zurich merupakan kota terbesar  dan pusat perdagangan di Swiss dan merupakan salah satu kota terpenting di dunia. Zurich terkenal sebagai kota termahal biaya hidupnya dibandingkan beberapa negara lainnya di eropa. Jangankan untuk shopping jam, baju, tas, sepatu disana, untuk satu souvenir gantungan kunci saja harganya sekitar 7-8 euro. gantungan kunci termahal yang pernah saya lihat di eropa, biasanya untuk satu gantungan kunci  hanya seharga 1-2 euro. 

Jika liburan yang lalu kami mengunakan penerbangan dan ICE, kali ini kami memilih mengunakan fasilitas tour studifahrten. Kami berangkat dari Dusseldorf pukul 22.00, tiba di Koln pukul 23.30 untuk menjemput peserta tour dari Koln. Trip tour ke Zurich kali ini mengunakan dua bus berjumlah 199 peserta. Satu bus berangkat dari Dusseldorf dan satu bus lagi berangkat dari Achen. Kedua bus dua tingkat ini berjumpa di Koln sehingga bus dapat menuju dari Koln ke Swiss secara bersamaan.

Allhamdulillah, pukul 07.00 kami tiba di Zurich. Rombongan berkunjung ke kampus ETH. Setelah sarapan pagi berupa roti keju plus jus, kami pun melanjutkan perjalanan ke polytrasse ETH. Setelah berkumpul dan potret bersama seluruh peserta rombongan  di depan kampus polytrasse ETH, rombongan dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok difasilitasi satu orang tour guide. Dengan panduan peta dan tour guide ini, kami mulai menjelajah tempat-tempat wisata di Zurich.


Objek wisata yang menarik di Zurich


Sungai Limat 
Sungai Limat merupakan sungai yang bermuara dari Danau Zurich,  sungai ini mengalir di sepanjang pertokoan-pertokoan mewah yang ada di pusat kota Zurich. Sungai ini dulu termasuk rute penting namun kini sungai ini hanya di lalui oleh boat-boat kecil, sedangkan sungai limat yang menghubungkan ke Danau dapat di lalui oleh kapal-kapal persiar atau wisata Zurich yang membawa wisata untuk melihat keindahan Kota Zurich dan Danaunya. 



 
Panorama Sungai Limat yang bermuara ke Danau Zurich




 Sungai Limat menambah daya tarik kota Zurich




Sungai Limat



Fraumünster, St.Peter, Grossmünster dan Lakeside Promenade
Banyak tempat wisata yang memiliki nilai sejarah yang lambat laun menjadi icon Zurich yang menarik wisatawan untuk berkunjung. Berjalan menyusuri Bahnhoftrasse sambil menikmati jernihnya sungai limat akan berjumpa icon Zurich yaitu Fraumünster yang merupakan sebuah gereja peninggalan masa silam, mungkin umurnya sudah puluhan abad namun bentuknya seperti masih baru karena selalu terawat, tidak jauh dari area tersebut juga terdapat St.Peter. 


Icon Zurich Fraumünster




St.Peter



Jika menyeberangi sungai limat melewati jembatan, disebelahnya akan terlihat  pula Grossmünster.  Terus berjalan menyusuri sungai limat hingga ke ujungnya, disana kita dapat menikmati indahnya lake promanade.




Grossmünster




Danau Zurich





Angsa putih yang bersih




Danau Zurich yang indah



Lakeside Promenade adalah taman dengan pemandangan Danau Zurich yang danaunya dipenuhi boat-boat, angsa putih dan burung camar yang berterbangan, disini pengunjung dapat berduduk santai melihat berbagai atraksi yang sering diadakan disekitar taman dan danau, untuk kesana boleh mengunakan tram atau berjalan kaki sambil mampir ke pertokoan yang ada di sepenjang jalan.  Zurich-Swiss wisata yang cantik dikunjungi kapan saja, setiap musim punya pesona dan daya tarik tersendiri. Panorama Zurich selalu dapat memikat setiap mata yang memandang.



Roman Baths
Roman Baths merupakan  tempat bersejarah romawi kuno yang terdapat di  Zurich, di tempat ini kita dapat mengetahui sejarah masa silam negara Swiss. Ketika saya dan rombongan mengunjungi tempat ini, saya melihat banyak uang kertas terdapat dibawah tanah yang di tutupi pagar besi. Saya tidak tahu untuk apa orang –orang meletakkan uang disana, mungkin saja itu sebagai sebuah simbol kepercayaan bagi mereka.


Roman Baths



Pusat perbelanjaan dan pabrik Coklat
Zurich-Swiss selain terkenal dengan bank Swiss juga terkenal dengan pusat perbelanjaan yang mewah plus lengkap, tentu saja harga barang-barang bermerek disini sangat mahal, karena biaya pertokoan dan tanah di kota Zurich sangat mahal. Bagi yang hobi belanja bermerek banyak pilihat tempat belanja disana, seperti Jelmoli, galeri, butik-butik. Zurich juga terkenal dengan coklatnya yang lezat, jadi kalau liburan kesana jangan lupa mampir ke pabrik atau toko coklat.


Salah satu Coklat yang terkenal di Swiss




Kota Zurich yang bersih




Schweizer Heimatwerk
Schweizer Heimatwerk merupakan  sejenis koperasi yang menghasilkan kerajinan tangan produk Swiss, banyak souvenir Swiss di jual disana seperti gantungan kunci, keramik,  baju, dll. Barang-barang disini sangat unik dan kreatif.


Schweizer Heimatwerk




Schweizer Heimatwerk tempat dijual kerajinan tangan Swiss



ETH  Zurich
Institut Teknologi Konfederasi Zurich atau dalam bahasa Jerman disebut ETH zurich (Eidgenossische Technische Hochschule Zurich) adalah Universitas terkenal di Swiss bahkan terkenal di Eropa. Universitas ini telah menghasilkan 20 penerima penghargaan nobel. Albert Einstein  perumus teori relativitas merupakan salah satu  lulusan  dan profesor dari Universitas ini.


Foto bersama di depan ETH Zurich



     Setelah keliling Zurich dengan tour guide. Rombongan pun diberi kesempatan untuk keliling Zurich secara bebas sesuai perencanaan sendiri tanpa dipandu tour guide. Saya dan suami mengunakan kesemptan ini untuk makan siang di taman yang terdapat di pusat kota Zurich. Angsa putih dan burung-burung yang bermain di aliran sungai limat menambah selera makan kami yang dari tadi mulai lapar. Sebelumnya saya sudah dapat info dari teman-teman bahwa Zurich itu kota termahal di dunia, jadi semua bekal dari snack, minuman sampai makan siang saya bawa dari Jerman. Lumayan juga untuk menghemat pengeluaran. Awalnya saya kurang yakin juga kalau Zurich itu kota termahal, saya pikir mungkin mahal karena perbedaan mata uang saja, maklum rupiah ditukar dengan mata uang eropa jatuhnya selalu mahal. Ternyata setelah saya kunjungi Zurich baru saya paham,  Zurich itu memang kota termahal, bahkan termahal bagi kalangan masyarakat eropa juga. Makanya tidak heran kalau  hampir semua peserta tour membawa bekal makanan yang banyak. Bayangkan untuk satu doner yang biasanya hanya 3-4 euro namun di Zurich harganya sampai 10-11 Franc Swiss (CHF) lebih untuk satu porsi atau sekitar 8-10 euro. Mata uang euro nilainya lebih besar dari mata uang Zurich namun harga barang-barang di Zurich lebih tinggi. Padahal 1 franc hanya 0,85 sen euro dalam artian mata uang euro lebih tinggi daripada mata uang Swiss. Namun harga barang di Zurich lebih mahal dibandingkan di Jerman. 

Transportasi di dalam kota Zurich

        Zurich memang terkenal dengan kota termahal namun para wisatawan dapat mengunjungi Zurich dengan mudah dan hemat karena transportasi di Zurich harganya tidak terlalu mahal, masih harga standar transportasi di eropa. Banyak pilihan harga untuk beli tiket transportasi misal tiket untuk Zurich card  yang berlaku 24 jam seharga 24 CHF dan yang berlaku 72 jam  seharga 48 CHF. Dengan tiket ini pengunjung sudah dapat naik transportasi publik, gratis masuk museum dan diskon belanja. Ada juga tiket biasa yang berlaku 24 jam  seharga 8.40 CHF, hanya untuk naik transportasi publik seperti bus, tram dan boat tapi tidak ada gratis untuk masuk museum dan diskon belanja. Saya dan suami lebih memilih mengembara zurich dengan  berjalan kaki melewati alun-alun kota, danau dan pertokoan-pertokoan mewah sehingga dimana ada tempat yang menarik bisa langsung mampir dan motret-motret.  


Salah satu transportasi dalam kota Zurich



       Pukul 19.00-20.00  peserta tour yang ingin minum-minum dapat berkumpul di bar, disana mendapat minum gratis namun bagi yang tidak bergabung ke bar dapat terus jalan-jalan dan berkumpul di polytrasse pada pukul 21.30. Saya dan suami tidak ikut ke bar, kami memilih berjalan di sekitar danau sambil menghabiskan stok bekal yang ada. 

Setelah berkumpul bersama lagi dengan rombongan tour, menyanyi bersama pun menjadi kenangan terakhir di Zurich hari itu, nyanyi yang di bawakan oleh peserta tour dari Turki terdengar begitu syahdu. Tanpa terasa pengembaraan bersama segera akan berakhir.

Pukul 22.30 bus pun segera meluncur dari Zurich kembali ke Jerman. Allhamdulillah pukul 07.00 kami tiba dengan selamat di Dusseldorf.





Rabu, 13 November 2013

Semua akhirnya akan kembali



                                                                                                             Oleh : Lisa Tjut Ali


 
Setiap kesedihan, kesendirian akan ada puncak kebahagiaan di depan kita


Kepergian Marina

Marina adalah teman masa kecil saya. Sebenarnya usia saya dengan Marina jauh berbeda. Dia lebih cocok jadi adik saya, daripada sebagai teman sepermainan. Di Komplek Pendopo tidak ada teman seumuran saya, akhirnya Marina lah jadi teman sepermainan. Waktu kecil kami kerap menghabiskan hari bersama. Kami pun saling membantu bila mengerjakan pekerjaan rumah. Di rumah tidak ada pembantu rumah tangga, jadi pekerjaan rumah kami kerjakan bersama-sama ahli keluarga, ibu yang memasak, kakak yang menyapu dan merapikan rumah, sedangkan mencuci piring menjadi tugas saya setiap sore. Marina selalu datang membantu membilas piring-piring yang sedang saya cuci dan menemani saya mandi. Setelah itu gantian saya yang menemaninya.

Saya masih ingat ketika Marina menjatuhkan sabun ke dalam sumur. Saat itu rumah di komplek satu sumur dibagi untuk dua rumah. Rumah saya dan Marina bertetangga, jadi satu sumur itu untuk dua kamar mandi yaitu kamar mandi saya dan kamar mandi Marina. Karena posisi kamar mandi yang bersebelahan dengan Marina, saat mandi kami suka sekali tukaran sabun melalui sumur. Waktu itu Marina baru membeli sabun yang sangat harum, kami pun bertukaran, rupanya tangan saya dan Marina saat itu licin, sabun batangan pun jatuh ke dalam sumur, alhasil air tidak bisa di gunakan untuk masak dalam beberapa hari, saya dan Marina pun kenyengiran mengakui kesalahan kami, keluarga Marina dan saya pun mulai gotong royong untuk menguras air sumur.

Jika semua tugas selesai, biasanya kami akan bermain bersama. Setiap anak-anak komplek akan mengaji di surau pendopo. Bila waktu mengaji kami akan berangkat bersama. Marina termasuk anak yang pintar, suara Marina mengaji mengalun begitu merdu.

Marina juga yang jadi motivasi untuk saya, ketika saya belajar berkreatif, membuat gantungan kunci bertuliskan nama, ia pula yang pertama yang memesan buatan tangan saya, saya sangat senang sekali mendapat apresiasi dari Marina sehingga ingin membuat lebih baik. Ketika saya sakit dan ingin bercerita Marina juga tempat curhat saya. Curhat polos masa anak-anak. Kami juga pernah berselisih paham, namun hanya sebentar, salaman tangan, ucapan maaf dan senyuman yang menyatukan kami kembali.

Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Kami semakin tumbuh dewasa, Marina menjadi gadis yang sangat manis. Sayang, menginjak usia dewasa kami tidak bisa bersama lagi setiap hari, saya harus pindah rumah ke desa Lampisang karena ayah sudah pensiun kerja. Lambat laun Marina juga pindah rumah ke Lamdingin. Walau rumah kami jauhan namun kami tetap jalin silahturrahmi.

Tahun 2004,  ketika saya harus kehilangan Marina

Hari itu gempa dan tsunami melanda Aceh, tempat tinggal saya dan Marina termasuk lokasi terberat kena tsunami. Saat itu kami masing-masing berjuang menyelamatkan diri dari hantaman tsunami, saya tidak tahu bagaimana keadaan Marina ketika berjuang dalam amukan gelombang air yang hitam memekat, karena saya sendiri juga sedang bertarung dengan gelombang yang sama.

Allhamdulillah,  saya selamat. Innalillahi wa innailaihi roji'un, Marina telah kembali kepada Yang Maha Cinta. Saya mendapat kabar Marina, ibu dan adik-adiknya telah tiada, diri ini merasa kurang yakin dengan kabar tersebut, untuk mendapat kepastian, saya pergi ke area rumah Marina. Semua rumah telah rata menjadi tanah hingga tak berbekas, tak ada lagi pagar kokoh tempat biasa Marina berdiri melambaikan tangan bila saya pergi atau pulang dari rumahnya, tak ada lagi senyuman manis dan manja Marina yang selalu berdiri di sudut pintu, saya kehilangan Marina, saya kehilangan teman masa kecil saya.

Walau Marina telah pergi, ia sering hadir dalam mimpi saya, ia seakan masih hidup dan ikut kemana jiwa saya pergi. Ketika saya di Aceh ia selalu hadir dalam mimpi, ketika saya merantau ke Malaysia, saya juga bermimpi tentangnya dan kini ketika saya harus berpindah ke benua lain, ia tetap hadir dalam mimpi , ia tetap menjadi teman terbaik walau hanya dalam mimpi. Kami seolah-olah dekat, kami masih bercerita bersama. Kini hanya doa yang dapat saya kirim untuknya.

Kehilangan Marina seperti kehilangan satu anggota tubuh, saya seperti kehilangan akal untuk berpikir, saya seperti tidak tahu lagi bagaimana untuk tersenyum, namun mimpi-mimpi indah dan senyumnya terus memotivasi saya untuk terus berkreatif dan melupakan trauma tsunami. Tangannya seakan mengiring saya untuk terus tersenyum dan berjalan menyongsong kehidupan. Meski Tsunami membawa pergi Marina, namun saya bersyukur, Allah pernah memberi saya kesempatan mengenal Marina, walau hanya sesaat.................


Ketika Macut pergi

Macut adalah adik ibu saya. Sejak kecil Macut yang yatim tinggal bersama kami. Ibu saya yang membiayai sekolah Macut. Waktu itu kami masih kecil-kecil, selain dengan orang tua, sama Macut lah kami bermanja. Dari mandi, buat PR, bermain ditemani oleh beliau. Ketika kami mulai dewasa dan Macut sudah selesai sekolah, beliau mulai mencoba hidup mandiri di kampung, ibu tidak melarang keinginan beliau, lagi pula beliau masih sering juga ketempat kami, begitu juga dengan kami, bila telah tiba masa liburan, pasti balik kekampung untuk menjenguk Macut. Saya sangat suka berlibur kekampung. Di kampung saya hidup bak seorang putri, apa yang saya inginkan selalu dibelikan oleh Macut, jika kepasar saya selalu dibelikan berbagai macam mainan, baju dan makanan, saya betah sekali berayun manja dengan Macut. Satu hal yang membuat saya sedih, melihat Macut yang sudah berumur tidak juga menikah, padahal saya ingin sekali melihat beliau menikah dan punya keluarga.

Waktu berjalan seperti jarum jam, cepat tak pernah berhenti, saya yang dulunya masih bermanja dipangkuan Macut, kini sudah membina rumah tangga, meski sudah menikah, kasih sayang saya pada Macut tidak berubah.

Awal 2007

Saya mendapat kabar bahwa Macut sakit parah, akhirnya Macut kami rujuk dari rumah sakit di kampung ke rumah sakit Banda Aceh agar lebih dekat dengan kami. Saat itu kakak yang bekerja di bagian kesehatan yang mengurus rujukan untuk Macut, kakak memilih rumah sakit swasta terbaik yang ada di Banda Aceh waktu itu, kami pun memilih kamar yang bagus untuk Macut, kami berharap agar Macut yang hanya sebatang kara, tanpa ayah, ibu dan suami, tidak merasa kekurangan kasih sayang, kami ingin Macut tahu bahwa kami selalu menyayangi beliau. Kami sekeluarga bergantian menjaga Macut waktu itu, karena mengingat saya dan kakak bekerja. Waktu itu saya sedang terikat kontrak dengan salah satu NGO dan bertugas keliling propinsi Aceh sehingga tidak bisa jaga Macut sepanjang hari. Setelah dirawat di Banda Aceh Macut menyatakan keinginannya untuk kembali ke kampung, beliau ingin dirawat disana, walau kami sudah membujuknya namun beliau ingin sekali tetap balik ke kampung. Mengingat di kampung juga ada ahli keluarga dekat pihak ibu yang akan menjaga, kami akhirnya akur dengan keinginan beliau untuk balik kampung.

Setelah beberapa hari di kampung, saya mendapat kabar bahwa Macut akan dioperasi, menurut salah satu ahli keluarga di kampung, setelah diamputasi, Macut akan dibuat kaki palsu gratis oleh salah satu NGO.

Allhamdulillah, operasi Macut berjalan lancar, kami bahagia mendapat kabar itu. Apalagi setelah operasi, Macut masih bisa tersenyum, namun siapa menduga, rencana Allah, Allah lebih sayang Macut, Macut dipanggil oleh Yang Maha Cinta tanpa sempat mengunakan kaki palsu .

Saat mendapat kabar tersebut, saya sedang berada di kabupaten lain. Penguburan Macut langsung dilakukan tanpa menunggu kepulangan saya. Kakak dan ibu saya bertuah sekali, mereka sempat memandikan beliau untuk terakhir kalinya.

Saya tak menyangka, kalau senyuman, canda Macut saat berada di rumah sakit Banda Aceh merupakan canda dan senyuman yang terakhir untuk saya, saat itu saya dan suami duduk persis di depan kepala Macut, saya belai-belai rambutnya yang semakin tipis, saya candai beliau hingga tersenyum dan melupakan sakit walau sesaat.

Saya tak menduga lambaian tangan beliau saat di ambulance merupakan lambaian tangan perpisahan.

Saat mendapat kabar duka tentang Macut, saya dari Sabang ke Banda Aceh lalu langsung ke Sigli naik motor, kami memandu seperti orang kesetanan agar dapat melihat raut ketenangan Macut yang terakhir kali, tapi yang tersisa hanya tanah basah diatas kuburannya.

Kini Macut telah pergi, tiada lagi belaian atau dogeng pengantar tidur darinya. kehilangan Macut seperti kehilangan satu kaki saya, saya seakan pincang untuk berjalan, saya seakan tertatih-tatih tanpa nasehat dan senyumnya.

Terima kasih Yang Maha Cinta, karena memberi saya kesempatan bersama Macut, walau hanya sesaat. Saya tahu Yang Maha Cinta lebih tulus menyayangi Macut daripada saya.

Tiada lagi senyum Dedi

Dedi adalah adik ipar saya, orangnya super kocak dan ribut, sangat berbeda dengan suami saya yang sangat pendiam, karena sifat Dedi yang gokil inilah buat saya mudah akrab dengan keluarga suami. Sifat periang Dedi bisa merubah suasana rumah mertua yang kaku menjadi riuh. 

Belakangan Dedi sakit berat, keluar masuk rumah sakit seperti absen mingguan, badannya semakin kurus, yang tersisa hanya semangat dan keceriaannya. Kami sudah berusaha mengobatinya baik secara medis maupun secara tradisional, namun sakit Dedi tidak juga pulih. 

Waktu itu  Dedi sempat dirujuk kerumah sakit banda aceh, kondisinya mulai membaik dan dokter mengizikannya kembali kerumah. Beberapa hari dirumah,  sakit Dedi kumat lagi hingga akhirnya kembali dibawa kerumah sakit.  

Saat sedang dirawat di rumah sakit, Dedi minta pulang ke rumah, dokter tidak mengizinkannya pulang, namun Dedi tetap nekat ingin pulang. Seakan ia sudah mengerti, telah tiba masanya ia akan pergi untuk selamanya dan ia ingin menghabiskan nafas terakhir hanya di rumah. Berulang kali saat itu ia katakan pada bunda bahwa ingin cepat pulang, waktu hanya tersisa beberapa menit lagi. Akhirnya bunda pun membawanya pulang, papa saat itu sedang ke Medan untuk membeli obat untuk Dedi, saat itu Dedi juga minta dibelikan pesawat mainan pakai remote. Permintaan yang aneh menurut papa, lagi sakit tapi malah minta pesawat,  namun papa tetap memenuhi keinginannya.  

Dalam perjalanan pulang Dedi tak henti-hentinya berzikir, bunda yang melirik Dedi disampingnya berulangkali mengusap keringat dingin yang keluar di dahinya. di biarkannya Dedi terus berzikir sambil memejamkan mata dengan harapan agar ia bisa tertidur nyenyak dalam perjalanan pulang. Saat sampai dirumah, ketika bunda hendak membangunkan Dedi, bunda mengira Dedi ketiduran, ternyata Dedi telah pergi untuk selamanya. 

Dedi pergi tanpa  menunggu kepulangan kami. Dedi pergi tanpa menunggu papa. Dedi pergi tanpa sempat menerbangkan pesawatnya. Kini yang tersisa hanya kenangan dan kebersamaan dengannya. Pesawat itu masih tertata rapi diatas lemari. Masih utuh dengan bungkusan, karena si pemilik telah pergi tanpa kembali.

Nek Neh pun pergi

Nek Neh bukan nenek kandung saya, beliau adalah macut dari nenek. Nek Neh tinggal bersama sepupu ayah, rumahnya persis di depan rumah kami. Nek Neh sangat suka duduk di depan teras sambil memperhatikan cucu-cucunya yang pulang-pergi dari sekolah atau kerja. Mulut nya pun tidak berhenti dari berzikir. Senyum, sapaan, doa dan lambaian tangannya seakan jadi semangat untuk kami. Saya sangat suka duduk  di teras dengan Nek Neh jika pulang kerja. Menyenangkan sekali duduk dengan Nek Neh. Kalau sedang duduk dengan Nek Neh saya sangat suka minta diceritakan tentang sejarah atau kisah-kisah lama, biasanya permintaa saya tak pernah di tolak Nek Neh. bagi saya Nek Neh seorang wanita yang istimewa, istimewa dalam beribadah juga istimewa dalam menjaga kesehatan. Beliau termasuk wanita yang sangat awet muda dan sehat. Di usia beliau yang hampir lebih dari 100 tahun namun masih mampu berjalan tanpa tongkat, bahkan beliau masih bisa membaca Alquran tanpa kacamata, ingatan beliau juga masih kuat,  beliau bisa membedakan antara saya dan kakak-kakak, walaupun saya dan kakak merantau dan baru pulang saat liburan. Beliau juga masih ingat sejarah-sejarah lama dan teman-teman beliau. Di usia senjanya beliau masih rutin berpuasa senin kamis. Satu hal yang membuat saya merasa nyaman berada dekat beliau adalah karena sifat beliau yang tulus, mulutnya penuh dengan ucapan yang baik dan doa indah. Bagi saya ucapan seseorang itu merupakan doa dan ucapan yang baik merupakan doa yang baik. Ucapan-ucapan nek neh selalu mengandug doa yang indah, rasanya rasa lelah saya seharian lenyap, ketika mendengar Nek Neh berkata '' Beumeutuah, beupanyang umu, beusehat, beumalem , beukaya  cuco lon ( Semoga bertuah, panjang umur, sehat, Alim, kaya cucu saya). Aamiin.

Saat saya di Malaysia, saya ditelpon oleh kakak memberitahu bahwa Nek Neh telah meninggal, saya begitu sangat sedih kehilangan Nek Neh, kini tak ada lagi orang yang menengur dan melambaikan tangan saat saya pergi dan pulang kerja. Teras itu telah sepi, Nek Neh wanita bermulut doa itu telah pergi untuk selamanya. Saya seperti kehilangan tangan, saya kehilangan lambaian-lambaian penyemangat kala bekerja.

Ternyata hidup itu tak abadi, semua akhirnya akan kembali,  hanya amalan baik yang akan kita bawa dan hanya kenangan manis yang tersisa untuk  orang terdekat kita






(* Catatan dan renungan